Orang Tibet Yang Hidup Di Pegunungan Himalaya
Sebuah
studi baru menunjukkan adanya perubahan genetika yang memungkinkan
orang-orang Tibet bertahan pada ketinggian (kadar oksigen rendah), di
mana orang lain akan merasa pusing/jatuh sakit.
Dalam
edisi online Preceedings of the National Academy of Sciences, sebuah
tim internasional telah mengindentifikasi sebuah gen yang memungkinkan
orang-orang Tibet bisa hidup dan bekerja di daratan yang
berketinggian lebih dari dua mil di atas permukaan laut tanpa terkena
penyakit akibat ketinggian.
Sebuah studi
sebelumnya yang dipublikasikan pada 13 Mei 2010 di Majalah Science
melaporkan bahwa Orang-orang Tibet secara genetika telah beradaptasi
pada ketinggian yang ekstrim. Sekarang, kurang dari satu bulan yang
lalu, studi yang kedua dari para ilmuan Tiongkok, Inggris, Irlandia,
dan Amerika Serikat telah menemukan dengan tepat satu posisi tertentu
dalam genom manusia; yaitu suatu varian genetika yang berkaitan
dengan hemoglobin yang rendah pada darah- yang membantu menjelaskan
bagaimana orang-orang Tibet mengatasi keadaan rendah oksigen.
Studi
itu menunjukkan titik terang pada bagaimana orang-orang Tibet, yang
hidup pada ketinggian yang ekstrim selama lebih dari 10.000 tahun,
telah berevolusi sehingga berbeda dengan nenek moyang meraka yang
tinggal di dataran rendah.
Tekanan udara yang lebih rendah pada
dataran tinggi berarti molekul oksigen lebih sedikit untuk setiap
udara yang diserap. “Ketinggian berpengaruh pada pikiran Anda,
pernafasan Anda, dan kemampuan Anda untuk tidur. Tetapi Orang-orang
asli yang tinggal pada ketinggian yang ekstrim tidak mempunyai masalah
ini,” Kata co-author Cynthia Beall dari Case Western Reserve
University. “Mereka mampu hidup pada kehidupan yang sehat, dan mereka
menjalani secara sempurna dan nyaman,” Kata Beall.
Orang-orang
yang tinggal dan bepergian ke dataran tinggi yang ekstrim merespon
berkurangnya kadar oksigen dengan membuat lebih banyak hemoglobin yang
merupakan komponen pembawa oksigen dalam darah manusia. “Itulah
mengapa para atlit berlatih pada dataran tinggi. Mereka meningkatkan
kapasitas komponen pembawa darah mereka,” kata Beall.
Tetapi
terlalu banyak hemoglobin dapat menjadi sesuatu yang buruk. Hemoglobin
yang berlebihan adalah pertanda dari penyakit pegunungan yang kronis,
sebuah reaksi yang berlebihan pada ketinggian yang dicirikan dengan
pekat dan kentalnya darah. Orang-orang Tibet menjaga kondisi rendahnya
hemoglobinnya yang merupakan suatu upaya untuk menjaga agar tidak
begitu rentan terhadap penyakit seperti penduduk non Tibet.
“Orang-orang
Tibet bisa hidup setinggi 13.000 kaki tanpa meningkatnya konsentrasi
hemoglobin seperti yang kita lihat pada orang-orang lain,” kata Beall.
Untuk
menunjukkan secara tepat varian-varian genetika yang mengarisbawahi
tingkat hemoglobin yang relatif rendah dari Orang-orang Tibet, para
peneliti mengumpulkan sampel-sampel darah dari hampir dua ratus
orang-orang kampung di Tibet yang hidup di daerah tinggi di Himalaya.
Ketika para peneliti membandingkan DNA orang-orang Tibet dengan
orang-orang yang hidup di dataran rendah di Tiangkok, hasil penelitian
mereka menunjukkan dengan akurat ternyata DNA mereka tidak sama-
yaitu sebuah gen pada kromosum 2 yang disebut EPAS1, yang terkadung
dalam produksi sel darah merah dan konsentrasi hemoglobin dalam darah.
Bekerja secara terpisah, para peneliti dari studi yang pertama
menetapkan temuan mereka secara bersama-sama pada pertemuan Maret 2009
pada National Evolutianary Synthesis Center di Durham, NC. “Beberapa
orang dari kita telah meneliti pada keseluruhan DNA orang-orang Tibet.
Yang lainnya telah melihat pada sekelompok kecil dari gen. Ketika
kita saling berbagi temuan tiba-tiba kita menyadari bahwa kedua studi
tersebut menghasilkan hasil yang sama yaitu EPAS1,” kata Robbin,
pengagas pertemuan dengan Beall.
Sementara seluruh manusia mempunyai
gen EPAS1, orang-orang Tibet mempunyai versi gen yang spesial.
Melalui proses evolusi yang panjang, individu-individu yang mewarisi
jenis gen ini mampu bertahan dan menurunkannya pada anak-anak mereka,
sehingga jenis gen spesial ini menjadi sesuatu yang sudah lumrah di
seluruh penduduk.
“Inilah tempat gen manusia pertama yang
merupakan bukti nyata tentang adanya seleksi genetika di Tibet,” kata
co-author Peter Robbins dari Oxford University.
Para peneliti masih
mencoba memahami bagaimana orang-orang Tibet mendapatkan oksigen yang
cukup pada jaringan tubuhnya walaupun pada kadar oksigen yang rendah
dalam udara dan aliran darah. Sampai kemudian, petunjuk-petunjuk
genetika yang tebuka lebih luas nampaknya menjadi akhir dari kisah
ini. “Mungkin ada lebih banyak tanda-tanda yang bisa dikenali dan
dijelaskan,” kata co-author Gianpiero Cavalleri dari Royal Collage of
Surgeon di Irlandia.
Bagi mereka yang hidup dekat dengan ketinggian
permukan laut, temuan-temuan itu mungkin suatu hari akan membantu
memprediksikan siapa yang berada pada resiko yang tertinggi terkena
sakit akibat ketinggian. “Sekali kita menemukan versi-versi ini,
pengujian-pengujian bisa dikembangkan untuk menjelaskan bahwa
seorang individu peka terhadap rendahnya kadar oksigen,” kata
co-author Changqing Zeng dari Beijing Institute of Genemics.
“Beberap
pasien, tua dan muda, dipengaruhi oleh tingkat rendahnya kadar
oksigen dalam darah mereka- barangkali karena penyakit paru-paru,
atau ada masalah dalam jantung. Beberapa orang bisa mengatasi lebih
baik dari yang lain,” kata co-author Hugh Montgomery, dari University
College London. “Studi-studi seperti ini adalah titik awal yang
membantu kita memahami ”kenapa” dan mengembangkan pengobatan
baru.”
judul
Diposting oleh
kanakurnia
Kamis, 02 Februari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Kamis, 02 Februari 2012
Orang Tibet Yang Hidup Di Pegunungan Himalaya
Sebuah studi baru menunjukkan adanya perubahan genetika yang memungkinkan orang-orang Tibet bertahan pada ketinggian (kadar oksigen rendah), di mana orang lain akan merasa pusing/jatuh sakit.
Dalam edisi online Preceedings of the National Academy of Sciences, sebuah tim internasional telah mengindentifikasi sebuah gen yang memungkinkan orang-orang Tibet bisa hidup dan bekerja di daratan yang berketinggian lebih dari dua mil di atas permukaan laut tanpa terkena penyakit akibat ketinggian.
Sebuah studi sebelumnya yang dipublikasikan pada 13 Mei 2010 di Majalah Science melaporkan bahwa Orang-orang Tibet secara genetika telah beradaptasi pada ketinggian yang ekstrim. Sekarang, kurang dari satu bulan yang lalu, studi yang kedua dari para ilmuan Tiongkok, Inggris, Irlandia, dan Amerika Serikat telah menemukan dengan tepat satu posisi tertentu dalam genom manusia; yaitu suatu varian genetika yang berkaitan dengan hemoglobin yang rendah pada darah- yang membantu menjelaskan bagaimana orang-orang Tibet mengatasi keadaan rendah oksigen.
Studi itu menunjukkan titik terang pada bagaimana orang-orang Tibet, yang hidup pada ketinggian yang ekstrim selama lebih dari 10.000 tahun, telah berevolusi sehingga berbeda dengan nenek moyang meraka yang tinggal di dataran rendah.
Tekanan udara yang lebih rendah pada dataran tinggi berarti molekul oksigen lebih sedikit untuk setiap udara yang diserap. “Ketinggian berpengaruh pada pikiran Anda, pernafasan Anda, dan kemampuan Anda untuk tidur. Tetapi Orang-orang asli yang tinggal pada ketinggian yang ekstrim tidak mempunyai masalah ini,” Kata co-author Cynthia Beall dari Case Western Reserve University. “Mereka mampu hidup pada kehidupan yang sehat, dan mereka menjalani secara sempurna dan nyaman,” Kata Beall.
Orang-orang yang tinggal dan bepergian ke dataran tinggi yang ekstrim merespon berkurangnya kadar oksigen dengan membuat lebih banyak hemoglobin yang merupakan komponen pembawa oksigen dalam darah manusia. “Itulah mengapa para atlit berlatih pada dataran tinggi. Mereka meningkatkan kapasitas komponen pembawa darah mereka,” kata Beall.
Tetapi terlalu banyak hemoglobin dapat menjadi sesuatu yang buruk. Hemoglobin yang berlebihan adalah pertanda dari penyakit pegunungan yang kronis, sebuah reaksi yang berlebihan pada ketinggian yang dicirikan dengan pekat dan kentalnya darah. Orang-orang Tibet menjaga kondisi rendahnya hemoglobinnya yang merupakan suatu upaya untuk menjaga agar tidak begitu rentan terhadap penyakit seperti penduduk non Tibet.
“Orang-orang Tibet bisa hidup setinggi 13.000 kaki tanpa meningkatnya konsentrasi hemoglobin seperti yang kita lihat pada orang-orang lain,” kata Beall.
Untuk menunjukkan secara tepat varian-varian genetika yang mengarisbawahi tingkat hemoglobin yang relatif rendah dari Orang-orang Tibet, para peneliti mengumpulkan sampel-sampel darah dari hampir dua ratus orang-orang kampung di Tibet yang hidup di daerah tinggi di Himalaya. Ketika para peneliti membandingkan DNA orang-orang Tibet dengan orang-orang yang hidup di dataran rendah di Tiangkok, hasil penelitian mereka menunjukkan dengan akurat ternyata DNA mereka tidak sama- yaitu sebuah gen pada kromosum 2 yang disebut EPAS1, yang terkadung dalam produksi sel darah merah dan konsentrasi hemoglobin dalam darah.
Bekerja secara terpisah, para peneliti dari studi yang pertama menetapkan temuan mereka secara bersama-sama pada pertemuan Maret 2009 pada National Evolutianary Synthesis Center di Durham, NC. “Beberapa orang dari kita telah meneliti pada keseluruhan DNA orang-orang Tibet. Yang lainnya telah melihat pada sekelompok kecil dari gen. Ketika kita saling berbagi temuan tiba-tiba kita menyadari bahwa kedua studi tersebut menghasilkan hasil yang sama yaitu EPAS1,” kata Robbin, pengagas pertemuan dengan Beall.
Sementara seluruh manusia mempunyai gen EPAS1, orang-orang Tibet mempunyai versi gen yang spesial. Melalui proses evolusi yang panjang, individu-individu yang mewarisi jenis gen ini mampu bertahan dan menurunkannya pada anak-anak mereka, sehingga jenis gen spesial ini menjadi sesuatu yang sudah lumrah di seluruh penduduk.
“Inilah tempat gen manusia pertama yang merupakan bukti nyata tentang adanya seleksi genetika di Tibet,” kata co-author Peter Robbins dari Oxford University.
Para peneliti masih mencoba memahami bagaimana orang-orang Tibet mendapatkan oksigen yang cukup pada jaringan tubuhnya walaupun pada kadar oksigen yang rendah dalam udara dan aliran darah. Sampai kemudian, petunjuk-petunjuk genetika yang tebuka lebih luas nampaknya menjadi akhir dari kisah ini. “Mungkin ada lebih banyak tanda-tanda yang bisa dikenali dan dijelaskan,” kata co-author Gianpiero Cavalleri dari Royal Collage of Surgeon di Irlandia.
Bagi mereka yang hidup dekat dengan ketinggian permukan laut, temuan-temuan itu mungkin suatu hari akan membantu memprediksikan siapa yang berada pada resiko yang tertinggi terkena sakit akibat ketinggian. “Sekali kita menemukan versi-versi ini, pengujian-pengujian bisa dikembangkan untuk menjelaskan bahwa seorang individu peka terhadap rendahnya kadar oksigen,” kata co-author Changqing Zeng dari Beijing Institute of Genemics.
“Beberap pasien, tua dan muda, dipengaruhi oleh tingkat rendahnya kadar oksigen dalam darah mereka- barangkali karena penyakit paru-paru, atau ada masalah dalam jantung. Beberapa orang bisa mengatasi lebih baik dari yang lain,” kata co-author Hugh Montgomery, dari University College London. “Studi-studi seperti ini adalah titik awal yang membantu kita memahami ”kenapa” dan mengembangkan pengobatan baru.”
Sebuah studi baru menunjukkan adanya perubahan genetika yang memungkinkan orang-orang Tibet bertahan pada ketinggian (kadar oksigen rendah), di mana orang lain akan merasa pusing/jatuh sakit.
Dalam edisi online Preceedings of the National Academy of Sciences, sebuah tim internasional telah mengindentifikasi sebuah gen yang memungkinkan orang-orang Tibet bisa hidup dan bekerja di daratan yang berketinggian lebih dari dua mil di atas permukaan laut tanpa terkena penyakit akibat ketinggian.
Sebuah studi sebelumnya yang dipublikasikan pada 13 Mei 2010 di Majalah Science melaporkan bahwa Orang-orang Tibet secara genetika telah beradaptasi pada ketinggian yang ekstrim. Sekarang, kurang dari satu bulan yang lalu, studi yang kedua dari para ilmuan Tiongkok, Inggris, Irlandia, dan Amerika Serikat telah menemukan dengan tepat satu posisi tertentu dalam genom manusia; yaitu suatu varian genetika yang berkaitan dengan hemoglobin yang rendah pada darah- yang membantu menjelaskan bagaimana orang-orang Tibet mengatasi keadaan rendah oksigen.
Studi itu menunjukkan titik terang pada bagaimana orang-orang Tibet, yang hidup pada ketinggian yang ekstrim selama lebih dari 10.000 tahun, telah berevolusi sehingga berbeda dengan nenek moyang meraka yang tinggal di dataran rendah.
Tekanan udara yang lebih rendah pada dataran tinggi berarti molekul oksigen lebih sedikit untuk setiap udara yang diserap. “Ketinggian berpengaruh pada pikiran Anda, pernafasan Anda, dan kemampuan Anda untuk tidur. Tetapi Orang-orang asli yang tinggal pada ketinggian yang ekstrim tidak mempunyai masalah ini,” Kata co-author Cynthia Beall dari Case Western Reserve University. “Mereka mampu hidup pada kehidupan yang sehat, dan mereka menjalani secara sempurna dan nyaman,” Kata Beall.
Orang-orang yang tinggal dan bepergian ke dataran tinggi yang ekstrim merespon berkurangnya kadar oksigen dengan membuat lebih banyak hemoglobin yang merupakan komponen pembawa oksigen dalam darah manusia. “Itulah mengapa para atlit berlatih pada dataran tinggi. Mereka meningkatkan kapasitas komponen pembawa darah mereka,” kata Beall.
Tetapi terlalu banyak hemoglobin dapat menjadi sesuatu yang buruk. Hemoglobin yang berlebihan adalah pertanda dari penyakit pegunungan yang kronis, sebuah reaksi yang berlebihan pada ketinggian yang dicirikan dengan pekat dan kentalnya darah. Orang-orang Tibet menjaga kondisi rendahnya hemoglobinnya yang merupakan suatu upaya untuk menjaga agar tidak begitu rentan terhadap penyakit seperti penduduk non Tibet.
“Orang-orang Tibet bisa hidup setinggi 13.000 kaki tanpa meningkatnya konsentrasi hemoglobin seperti yang kita lihat pada orang-orang lain,” kata Beall.
Untuk menunjukkan secara tepat varian-varian genetika yang mengarisbawahi tingkat hemoglobin yang relatif rendah dari Orang-orang Tibet, para peneliti mengumpulkan sampel-sampel darah dari hampir dua ratus orang-orang kampung di Tibet yang hidup di daerah tinggi di Himalaya. Ketika para peneliti membandingkan DNA orang-orang Tibet dengan orang-orang yang hidup di dataran rendah di Tiangkok, hasil penelitian mereka menunjukkan dengan akurat ternyata DNA mereka tidak sama- yaitu sebuah gen pada kromosum 2 yang disebut EPAS1, yang terkadung dalam produksi sel darah merah dan konsentrasi hemoglobin dalam darah.
Bekerja secara terpisah, para peneliti dari studi yang pertama menetapkan temuan mereka secara bersama-sama pada pertemuan Maret 2009 pada National Evolutianary Synthesis Center di Durham, NC. “Beberapa orang dari kita telah meneliti pada keseluruhan DNA orang-orang Tibet. Yang lainnya telah melihat pada sekelompok kecil dari gen. Ketika kita saling berbagi temuan tiba-tiba kita menyadari bahwa kedua studi tersebut menghasilkan hasil yang sama yaitu EPAS1,” kata Robbin, pengagas pertemuan dengan Beall.
Sementara seluruh manusia mempunyai gen EPAS1, orang-orang Tibet mempunyai versi gen yang spesial. Melalui proses evolusi yang panjang, individu-individu yang mewarisi jenis gen ini mampu bertahan dan menurunkannya pada anak-anak mereka, sehingga jenis gen spesial ini menjadi sesuatu yang sudah lumrah di seluruh penduduk.
“Inilah tempat gen manusia pertama yang merupakan bukti nyata tentang adanya seleksi genetika di Tibet,” kata co-author Peter Robbins dari Oxford University.
Para peneliti masih mencoba memahami bagaimana orang-orang Tibet mendapatkan oksigen yang cukup pada jaringan tubuhnya walaupun pada kadar oksigen yang rendah dalam udara dan aliran darah. Sampai kemudian, petunjuk-petunjuk genetika yang tebuka lebih luas nampaknya menjadi akhir dari kisah ini. “Mungkin ada lebih banyak tanda-tanda yang bisa dikenali dan dijelaskan,” kata co-author Gianpiero Cavalleri dari Royal Collage of Surgeon di Irlandia.
Bagi mereka yang hidup dekat dengan ketinggian permukan laut, temuan-temuan itu mungkin suatu hari akan membantu memprediksikan siapa yang berada pada resiko yang tertinggi terkena sakit akibat ketinggian. “Sekali kita menemukan versi-versi ini, pengujian-pengujian bisa dikembangkan untuk menjelaskan bahwa seorang individu peka terhadap rendahnya kadar oksigen,” kata co-author Changqing Zeng dari Beijing Institute of Genemics.
“Beberap pasien, tua dan muda, dipengaruhi oleh tingkat rendahnya kadar oksigen dalam darah mereka- barangkali karena penyakit paru-paru, atau ada masalah dalam jantung. Beberapa orang bisa mengatasi lebih baik dari yang lain,” kata co-author Hugh Montgomery, dari University College London. “Studi-studi seperti ini adalah titik awal yang membantu kita memahami ”kenapa” dan mengembangkan pengobatan baru.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Blog Subscription
Search this blog
Link Exchange
Followers
Popular Posts
-
Hm….. prnhkah klian mndngar crita tntang atlantis….???? lalu…..sbenarnya atlantis itu nyata atau hanya sebuah mitos belaka…..???? Gambar ...
-
Sejarah Internet bermula pada tahun 1969. Pada saat itu departemen pertahanan Amerika atau lebih dikenal dengan proyek ARPA yg disebut juga ...
-
Mungkin 2 atau 3 tahun yang lalu, laptop merupakan suatu perangkat komputer yang sangat didamba-dambakan oleh kalangan yang berkecimpung at...
-
Tentang Google Google mempunyai misi untuk memberikan pengalaman pencarian di Internet yang terbaik dengan mewu...
-
Kisah Perjalanan Astral Menembus Dimensi Waktu Ke Masa Lampau Perjalanan astral atau proyeksi astral (Astral Traveler/Projection) adala...
-
5 Mesin Pencari Yang Belum Anda Ketahui Search engine telah menjadi kebutuhan mendasar akhir-akhir ini. Dengan banyaknya situs di inter...
Labels
- Alam (1)
- Inspirasi (2)
- Kehidupan (2)
- Konspirasi (1)
- Misteri (15)
- Peradaban Kuno (11)
- Sejarah (6)
- Tata Surya (2)
- Teknologi (22)
- Unik (5)
Blog Archive
-
▼
2012
(142)
-
▼
Februari
(38)
- Konsep Bom Penghijau Bumi Mendengar kata "bom",...
- Virus Paling Berbahaya Bagi Komputer
- 8 Gua Paling Bersejarah Di Dunia 1. Petra, Jorda...
- 10 Fakta Unik Boss Microsoft
- Microsoft Ingin Pekerjakan Bocah Yang Telah Membo...
- Aplikasi Baru Google Bisa Terhubung Perangkat Ruma...
- Planet-Planet Menakjubkan Di Jagat Raya Alam semes...
- Di Temukan Kuburan Ratu Misterius Di Mesir
- Perbandingan ukuran Bumi, Matahari dan Planet di A...
- Kisah 2 Sniper AS Melawan 1 Kompi Vietkong Perang ...
- Indah nya Surga Dunia Amazing pictures, so bright...
- Proses Pembuatan Pesawat Airbus A-380 di Prancis
- El Gordo Galaksi Jauh Terbesar Di Alam Semesta Kel...
- Menyimak Puing Kota Ephesus Yunani KunoYunani - Ep...
- Taman Langit di Gerbang Tuhan Semasa SD saya kera...
- Adakah kehidupan lain selain di bumi Meskipun per...
- John Titor, Penjelajah waktu yang datang dari tahu...
- Teori Hollow Earth ( Ada Bumi di Dalam Bumi) Per...
- Google Mulai Gantikan Otak Warga Dunia London – Sa...
- 3 Mahasiswa Drop Out Yang Menjadi Milyuner teknolo...
- Bill Gates Berduka Atas Kepergian Gadis Jenius Dal...
- Foto Menakjubkan Dari National Geographic Semua or...
- Akibat Globat Warming, Gunung Es Terbesar Di Dunia...
- Sungai Di Bawah Laut, Penjelasan Singkat Saya be...
- Orang Tibet Yang Hidup Di Pegunungan Himalaya
- Tabut Perjanjian (The Ark of The covenant) Taukah ...
- Berburu Emas El Dorado Semua berawal dari legenda....
- Kuil Abu Simbel Abu Simbel adalah kuil termegah pe...
- Taman Gantung Babylonia, Benarkah Ada. .? SEJARAW...
- Gulungan Naskah Laut Mati Gulungan Naskah Laut Ma...
- Benarkah Manusia Pernah Hidup Bersama Dinasaurus ...
- Penemuan Reruntuhan Kota Pompeii
- Legenda Tembok Kaukasus dan Dua Kesatria ( Caucasi...
- Tragedi Pompeii, Kota yang Dilaknat Kota Pompeii ...
- Kota Peradaban Kuno Yang Keberadaan nya Masih Kita...
- 7 Keajaiban Kuno 1. Colossus Rodos
- 10 Mitos Menyimpang Mesir Kuno Mesir telah dikenal...
- Legenda Perahu Matahari Dari Mesir Kuno Misteri P...
-
▼
Februari
(38)
Pages
Created By Kana Kurnia (18-04-2011). Diberdayakan oleh Blogger.
0 komentar:
Posting Komentar
Berikan Ya Komentar Anda Untuk Blog Ini